Berdasar pada PPRI No 19 tahun 2005 mengenai pemerataan sistem pendidikan di Indonesia
dengan penilaian yang mencakup
kegiatan mencari, mengolah, mengumpulkan informasi dan pencapaian tujuan di kelas, maka terbentuklah standarisasi
sekolah secara khusus dan standarisasi pemerintah secara nasional. Berkenaan dengan mencapai standar tersebut,
sekolah-sekolah kemudian menetapkan kriteria khusus untuk peserta didiknya dalam
hal belajar mengajar.
Untuk membahas lebih lanjut mengenai proses pemerataan
pendidikan ini lebih lanjut akan dibahas terlebih dahulu mengenai Standar
Nasional. Penentuan standar ini tak lepas dari pertimbangan-pertimbangan yaitu
sesuai dengan fasilitas, media, serta pengetahuan secara kontekstual dari daerah
tersebut sehingga terbentuklah Ujian Akhir Nasional (UAN) atau lebih sering
disebut sebagai Ujian Nasional.
Hal ini merupakan bentuk pemerataan
pendidikan serta bagian dari apresiasi pemerintah terhadap perkembangan daerahnya
melalui aktualisasi pemberdayaan daerah. Dengan
banyaknya kritik dan saran dari masyarakat, Pemerintah akhirnya merevisi
ketentuan UN dalam penentuan kelulusan demi mencapai pemerataan pendidikan
kedepannya. Seperti
dewasa ini, dalam hal penentuan kelulusan, acuhan penilaian tidak lagi terfokus
pada UN, namun penilaian dari guru di sekolah juga mengambil andil di dalamnya.
Hal lain yang berkenaan dengan proses pemerataan
pendidikan adalah standarisasi sekolah akan penerimaan peserta didik baru. Penilaian
yang diberikan sekolah berbeda-beda sesuai tujuan awal apa yang ingin dinilai
oleh pihak sekolah. Tujuan adanya penilaian ini memprediksi siswa apakah mampu
menghadapi pelajaran yang akan diterima di sekolahnya nanti. Dapat diambil
contoh, kita pernah melalukan proses penyeleksian untuk masuk ke sekolah tinggi
keguruan ilmu pendidikan (STKIP) Kebangkitan Nasional atau lebih dikenal dengan
Sampoerna School of Education (SSE).
Penerimaan didasarkan pada penilaian secara psikologi, akademik dan skill dalam mengajar yang ketiganya merupakan kebutuhan dasar dalam pencapaian
pembelajaran di SSE.
Apabila dilihat berdasar kriteria penilaian yag merupakan
standardisasi pendidikan, penilaian di Indonesia kebanyakan mempergunakan
sistem paper
and pencil test, padahal penilaian
itu sendiri meliputi berbagai aspek tidak hanya kognitif namun juga afektif dan
psikomotor. Dengan melakukan observasi melalui
model penilaian yang bervariasi sehingga guru dapat menilai keintegritasan dari
proses belajar mengajar. Salah satunya seperti dalam teori behaviourism dimana seseorang dikatakan belajar bila dia dapat
merubah sikapnya. Kemudian melalui model three stray two stay atau presentasi
dapat mengajarkan cara untuk menyampaikan, mengoreksi sehingga dapat terjadi proses
pembelajaran.
Dari
pengalaman yang pernah kita ambil bahwa kita pernah memperoleh bentuk-bentuk
dari penilaian. Dari hal tersebut kita
dapat belajar dalam menilai siswa , tetapi tidak hanya itu kita pun menilai
diri melalui refleksi terhadap cara
mengajar kita. Saat kita mempersiapakan rencana pembelajaran disertai dengan
permulaan pemberian test agar mengetahui tingkat pengetahuan siswa. Kemudian
melakukan proses belajar mengajar dan setelah itu memberikan penilaian terhadap pemahaman
siswa terhadapa tujuan pembelajaran.
Maka guru akan mengevalasi dengan melihat hasil belajarnya. Mungkinkah dapat
dikatakan berhasil dengan mencapai target bila belum maka terjadinya proses
pengulangan pengajaran dan perubahan metode atau cara mengajar agar memudahkan siswa dalam memahami
pembelajaran. Hasil dari pembelajaran dievaluasi kembali untuk dilihat apakah
dapaat melanjutkan pembelajaran selanjutnya. Hal inilah yang dikeanal dengan Standard model assessment.
Oleh
karena itu, penilaian merupakan hal yang sangat mendasar sehingga dapat
mempengaruhi proses belajar mengajar, baik yang bersifat interinsik yaitu ego
dalam diri maupun eksterinsik dengan adanya motivasi dari teman. “Tak ada
gading yang tak retak” istilah tersebut sama dengan penilaian karena dalam
prosesnya masih terdapat kekurangan disan sini yang membuat penilaian perlu
adanya pemberharuan seperti yang terjadi dalam UAN dan juga rapor hasil belajar siswa. Bahwa ternyata dalam
kenyataannnya terdapat banyak kemampuan serta ketrampilan yang belum
diapresiasikan secara jelas dalam sekolah. Dari masalah tersebut dapat membuat
kita sebagai calon guru berfikir kritis dan peka terhadapa perkembangan yang
menuntut kita untuk dapat memadai kebutuhan siswanya karena “We are the teacher
in the better future”.
22 komentar:
kenapa harus ada penilaian?apa yang dinilai?mengapa harus diberi standarisasi?kenapa pendidikan harus merata?apa yang disebut sebagai "pemerataan"?
hal inilah sedikit yang dapat menjadi acuan apakah tujuan awal kita dalam pengajaran telah tercapai atau tidaknya maka perkembangan Sumber Daya Alam pun dapat dilihat hasilnya dengan kekuatan pendidikan.
Ayu Yuliyanti Purwandari
2010110016
saya ingin menanggapi pertanyaan saudara ayu, yang pertama kenapa harus ada penilaian? seperti yang kita tahu semua, bahwa tujuan dari penilaian itu adalah untuk mengukur tingkat pemahaman siswa,sebagai acuan untuk pemberian materi ke jenjang berikutnya.dan yang dinilai adalah tingkat pemahamanan. dan mengapa harus diberi standarisasi?menurut saya sendiri, standarisasi ini diberikan dengan tujuan agar pemberian penilaian itu merata,kalau yang saya tangkap sih mungkin maksudnya disini adalah standarisasi kriteria penialaian,gimana teman- teman?
ratu bulkis
2010110046
ok teman-teman saya ingin berbagi apa yang saya tahu dan jika ada kesalahan tlong dikoreksi kembali..
pertama, kenapa harus ada penilaian? teman...pertnyaan saya balikan, untuk apa kita mengajar? karena ingin mereka mengerti apa yang kita ajar bukan? tahu darimana mereka mengerti atau tidak dengan apa yang kita berikan? inilah fungsinya dilakukan penilaian..mengetahui sejauh mana pemahaman meraka. dan apa yang dinilai? sejauh mana mereka menangkap/mengerti ttg apa yg diajarkan.mengapa harus diberi standarisasi? saya ingin bertanya dulu, standarisasi apa yang dimaksud disini? jika standarisasi yang dimaksud disini adalah standarisasi penilaian, maka kita akan membicarakan kriteria-kriteria dlm penilaian itu sendiri, untuk apa ada standariasi penilaian? nah, sebenarnaya untuk membuat kriteria penilaian tidak sembarang menyusun loh teman-teman..disini dalam menyusun kriteria, kita harus melihat goals/tujuan pembelajaran tersebut, dimana kriteria2 tersebut sebagai alat/syarat menuju terpenuhinya pemahaman siswa untuk mencapai goal/tujuan tersebut., karena untuk menuju tujuan pembelajaran pasti ada banyak aspek dan unsur yang harus dipenuhi bukan? itulah knpa penilaian harus mempunyai standarisasi..kenapa pendidikan harus merata?karena setiap manusia mempunyai hak yang sama dalam mengecap pendidikan, entah die orang miskin atau kaya, mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tersebut. Namun tak dapat dipungkiri ketika membicarakan pemerataan banyak hal yang sangat butuh perhatian dan begitu banyak kesulitan,, namun disini pemerintah memulai perlahan-perlahan melalui standar-standar yg telah ditetapkan masing-masing sekolah ,,dengan harapan sekolah bisa memaksimalkan kinerja dalam proses belajare mengajar dg assessment yang tepat sesuai tujuan pembelajaran…ingat teman ..apapun kurikulumnya, bagaimanapun standarnya …semua itu bergantung dari guru-guru yang menstafer itu semua… standar yg baik,system yg baik namun tidak dibarengi dg guru yang hebat , semua itu tidak akan berjalan….
Terimakasih ..maaf komennya kepanjangan..
Sintha kusuma wardhani
2010110014
saya juga ingin memberikan pertanyyan boleh untuk didiskusikan? .untuk menghindari subjektifitas kita dalam menilai, apa yg harus kita lakukan ..mengingat bahwa setiap manusia terkadang tak dapat dipungkiri memiliki subjektifitas dan ga bohong kalau masih banyak guru yang menilai melihat dr subjektifitas siswanya,,,setuju?
sintha kusuma wardhani
2010110014
Menurut saya sih, kita sebagai calon guru jangan terlalu pusing memikirkan standar penilaian yang ditetapkan oleh pemerintah karena kelemahannya yang masih saja belum mampu menilai keseluruhan kompetensi yang dimiliki siswa. Pikirkan saja dari individu kita masing-masing, apakah kita sudah mampu memberikan bentuk penilaian yang dapat memenuhi kebutuhan siswa dan tentunya bentuk penilaian yang dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Seperti yang kita ketahui, dalam menilai kompetensi siswa, kita harus memperhatikan ketiga domain seperti kognitif, afektif dan psikomotorik. Jika kita merasa paper and pencil test belum mampu untuk menilai performance siswa yang mencakup ketiga domain tersebut, guru dapat menggunakan performance assessemnet dan portfolio assessment sebagai alternatifnya. Saya rasa, ini dapat menjawab pertanyaan sintha tentang cara agar guru tidak subjektif dalam menilai siswanya.
performance assessment, seperti yang kita ketahui, guru menilai dan mengamati aktivitas siswa dengan menggunakan rubrik sebagai guided scoring untuk mendapatkan informasi yang valid tentang performance siswa dan hal ini dapat memperkecil adanya subjektifitas dari guru dalam memberikan penilaian. Bentuk penilaian selanjutnya adalah portfolio assessment. Lagi lagi juga, guru perlu menggunakan rubrik untuk menilai mereka. Dari sini, guru dapat menilai progress yang dicapai oleh tiap-tiap siswa dalam proses belajar dan merefleksikan apa yang mereka pikirkan. Dari tulisan yang mereka buat, kita dapat mengetahui seberapa kritis dan kreatifkah mereka dalam menuangkan pemikiran mereka dalam tulisan sebagai bukti bahwa mereka telah menguasai materi dengan baik atau tidak. Dan yang terpenting adalah, apapun bentuk penilaian yang ingin kita gunakan haruslah dapat memicu motivasi siswa untuk belajar. Sadarkan mereka bahwa menuntut itu penting dan itu baik bagi masa depan mereka. Jangan pernah meninggalkan mereka dalam keterpurukan, namun bantulah mereka untuk keluar dari keterpurukan yang mereka alami.
Himmatul 'Aliyah
2010110030
Tapi, ketika kita berbicara tentang standar penilaian yang ditetapkan pemerintah memang baik dari segi kualitasnya. Tapi, ketika kita lihat dari segi psikologi siswa, guru, dan orang tua akan menimbulkan was-was yang kurang baik. Mereka terutama siswa yang akan menjalaninya akan merasa terberati oleh standar tersebut. Lebih baik kita mesti lihat dari segi pengalaman siswa belajar selama 3 tahun. Karena tidak baik jika kita melihat kualitas dan pengalaman siswa dari hanya 4 hari saja.
Jefri Saputra
2010110032
setuju dengan lia, jadi kita perlu rubrik agar tidak subjektif dalam melakukan penilaian bukan? :D
untuk jefri, 4 hari tidak mencakup keseluruhan hasil belajar siswa selama 4 tahun, itu bukan maksudnya? saya juga setuju, berarti proses yang 4 hari itu sebaiknya dibuat lebih fokus dan mencakup ketiga domain penilaian mungkin ya jep..
susi
pemerintah kini mulai sadar dengan membuat pertimbangan baru bahwa kelulusan tidak serta merta ditentukan dari hasil UN tetapi 60% dan 40%. 60% dari nilai UN dan 40% dari nilai UAS. jadi tingkat kekhawatiran mahasiswa pasti lebih berkurang.
Wiyarsih
2010110008
dear shinta,
bener bgt dengan pernyataan kamu bahwa masih banyak guru2 yang menilai siswa nya dengan subyektif seperti yang saya alami waktu dulu sekolah. sekarang adalah tantangan buat merubah cara assessment yang creatif dan seobjective mungkin.
Wiyarsih
Oke saya setuju sekali dengan pernyataan dari kalimat akhir paragraf dari artikel ini yaitu dimana kita sebagai calon guru masa depan, seyogyanya harus peka terhadap bagaimana nanti kita melakukan sebuah penilain terhadap murid kita nantinya, karena yang namanya nilai itu adalah sesuatu yang sangat sensitif bagi murid-murid. Sebuah nilai yang murid dapatkan dari hasil penilaian seorang guru, hal itu akan membawa banyak dampak. Diataranya, bisa membawa dampak positif jika seorang murid yang mendapatkan nilai bagus lalu ternyata nilai bagus itu membuatnya menjadi semangat dalam belajar, ataupun sebaliknya ada juga yang karena sudah mendapatkan nilai yang bagus, lalu si murid ini sombong dan terlena dengan nilai bagusnya itu. Selain itu, ada juga dampak lainnya, yangmana misalnya ada seorang murid yang mendapatkan nilai jelek, lalu dari nilai jelek itu membuat muridnya menjadi frustasi dan stress dengan nilai jeleknya itu, sehingga membuat self-esteem-nya turun, dan hal ini tentunya yang juga harus diperhatikan oleh seorang guru. Yangmana seorang guru tidak hanya selalu menuntut kepada muridnya untuk mendapatkan nilai yang bagus, tetapi juga harus cerdas dalam membangun motivasi belajar murid-muridnya, sehingga rasa percaya diri si murid dalam mengikuti pelajaran akan terpacu semangatnya.
Dwi Sintia
2010110020
Mathematics Department
Section B
Di dalam artikel tersebut juga disinggung-singgung tentang teori behaviour. Ya, bagus sekali, teori behaviour dimasukan dalam perbincangan artikel inI, karena saya setuju bahwa kecerdasan seorang murid, tidak hanya dilihat dari penilain paper and pencil, karena masing-masing individu dari seorang murid ialah memiliki karakteristik keunikan yang berbeda-beda. Jadi, memang inilah juga yang menjadi PR kita bersama, baik yang sudah menjadi guru ataupun kita yang sebagai calon guru, kita pun harus mulai dari sekarang memikirkan hal ini, karena memang kita sadari bahwa tugas seorang guru tidaklah sedikit. Jadi, guru-guru indonesia, semangatlah, tularkan semangat kita kepada murid-murid kita yang mereka adalah calon penerus masa depan.
Dwi Sintia
2010110020
Mathematics Department
Section B
wah,, seru sekali berdiskusi masalah assessment. Sangat setuju dengan pendapat teman-teman. okh,, ya ada beberapa pertanyaan nih yang mungkin menarik untuk didiskusikan. Bagaimana tanggapan kalian mengenai adanya jam tambahan yang diberikan oleh guru agar kita lebih siap menghadapi UAN? Ada beberapa daerah yang presentase kelulusannya hanya sekitar 10 % apakah ini berarti sekolah tersebut telah gagal dalam pendidikan atau kah faktor daerah mengingat hal ini banyak terjadi di wilayah Indonesia bagian timur?
Iis Rosita
2010110040
saya setuju dengan sintha dalam menilai siswa harus secara objektif.
oleh karena itu dipelukan rubric penilai yang menilai seluruh aspek proses pembelajaran. dengan mempertimbangkan tujuan pembelajaran itu sendiri.
saya setuju dengan dwi yang menyinggung mengenai kecerdasan siswa. siswa memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, oleh karena itu kita sebagai seorang guru harus kreatif dalam pembelajaran agar kita dapat menilai siswa dari seluruh aspek.
Saya merasa tulisan ini bisa saya cerna dengan mudah. Hanya saja karena pengenalan yang berbelit-belit dan pengulangan kata-kata, membuat saya kesulitan memahaminya.
Jujur saya tidak mendapat point atau kaitan antara judul dan isi essay ini. Sedikit mengkritisi, judul dari essay ini lebih terlihat sebagai judul berita. Apakah penulis bisa memberikan solusi jika memang kriteria kelulusan saat ini meninggalkan aspek assessment?
Redyta Amalia
2010110022
setuju dengan jefri, pasti masih tersimpan dalam benak, betapa frustasinya kita beberapa hari sebelum UAN. mulai dari siasat pembuatan contekan kerja sama sampe g ada matinya. nah ini berkaitan dengan assess yang kita bahas, dan sangat berhubungan dengan pembahasan 2 minggu pertemuan terakhir.
diyanta wiga pratama
wahhh.... wiga ketahuan dehh.... bener banget tuh, ampe2 ada tempat2 les yang menjamin siswanya akan lulus UN 100%, dan siswapun pada nimbrung dan berbondong2 masuk ke tempat les tersebut... dan, berdasarkan pengalaman saya, ditempat itu diajarkan bagaimana menyelesaikan soal, bukan memahami materi pelajarannya... dengan begitu siswa hanya akan dapat mengerjakan soal, bukan memahami materi pelajaran...
Prio Anugrah Machrestu
(2010110002)
mengapa UAN tidak dihampuskan?
pertanyaan seperti ini tidak akan mungkin dikabulkan oleh para elit kita yg ada di Senayan sana. kenapa? karena kalau UAN dihampuskan itu artinya pedapatan pemerintah khususnya bagian elit/menteri pendidikan akan menurun karena tidak ada peluang lagi untuk menghasilkan uang selain gaji pokok..
Sebagai rakyak kita memang tidak boleh berburuk sangka tapi meninjau manfaat UAN sejauh ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. anggaran pendidikan paling besar dibandingkan anggran yang lainnya...
coba bayangkan 1 lember kertas soal UAN x Jumlah penduduk yang melaksaakan UAN? dan itu uang semua loh ditambah anggran lain2nya lagi....
ell
Setuju dengan Eli... ternyata kawanku satu ini kritis juga... ditambah biaya lain-lain : gaji pengawas, gaji peninjau, gaji pengantar soal, gaji penjaga soal, gaji kurir, dan gaji-gaji yang lain... ditambah uang makan siang, snak pagi, snak untuk peninjau, snack untuk pengawas, snack kurir, dan snack-snack yang lain.... tahu gak kawan... Biaya penyelenggaraan Ujian nasional menelan biaya 580 Milyar... selagi Milyar... uang yang tidak sedikit... check disini...
http://nasional.vivanews.com/news/read/215341-anggaran-ujian-nasional-capai-rp-580-miliar
Coba bayangkan uang 580 Milyar yang dikeluarkan tiap tahun itu, digunakan untuk beasiswa bagi anak yang tidak mampu... tidak ada lagi anak yang bilang,,, "Tidak sekolah karena tidak punya uang",,,
teman-teman entah kenapa saya justru berpikir bahwa teori behaviorism itu bukanlah sesuatu yang paling efektif untuk digunakan dalam melakukan penilaian. Itu hanya akan membuat kita terfokus pada perubahan sikap siswa untuk mengukur proses belajar siswa. Lantas bagaimana dengan perkembangan kognitif siswa yang tidak bisa diwakili dengan perubahan sikap. Kita tidak bisa menghakimi bahwa siswa yang diam atau pasif di kelas adalah siswa yang lambat dalam belajar, atau siswa yang tidak memahami apa yang disampaikan di kelas, bukan begitu teman-teman. Nah karena itulah, seperti yang kita pelajari di pertemuan minggu lalu, sebagai guru kita harus membuat assessment yang bisa memfasilitasi kita dalam mengukur tiga aspek penting dalam melakukan penilaian. Jangan hanya paper pencil yang hanya bisa mengukur kemampuan kognitif siswa, atau teori behaviorism yang hanya bisa mengukur kemampuan motorik siswa.Tiga aspek tersebut ialah kemampuan kognitif, afektif dan motorik. Nah mari kita pikirkan bersama-sama, 4-5 tahun mendatang assessment seperti apa yang bisa mengcover semuanya dan tentu saja menarik bagi siswa serta menstimulus mereka dalam mengembangkan kemampuan yang mereka miliki. :)
Devi Heryanti
2010110010
Posting Komentar